Powered By Blogger

Sabtu, 30 Oktober 2010

Riset Bank Shariah 2008

Krisis ekonomi Indonesia 1998 seakan menjadi momentum berkembangnya bank syariah. Di saat bank-bank lainnya banyak yang mengalami krisis dan tumbang karena krisis likuiditas, bank syariah masih tetap bertahan. Diawali dengan munculnya bank syariah pertama di Indonesia, Muamalat tahun 1992, banyak bank-bank konvensional di kemudian hari membuka unit syariahnya seperti Bank Syariah Mandiri, BPD Syariah, BNI Syariah dan lain sebagainya.
Berawal dari sana, kami dari Departemen Riset SEF UGM melakukan survey mengenai sejauh mana pengetahuan ekonomi islam di kalangan mahasiswa serta preferensi mereka terhadap bank syariah di Indonesia. Survey dilakukan dengan mengambil 172 responden acak dengan cakupan tujuh fakultas yang terpilih, yaitu Ekonomika dan Bisnis, Teknik, Fisipol, Filsafat, Hukum, Psikologi, dan Sastra.
Dari kuisoner yang kami ajukan, kami menanyakan tentan pemahaman dasar ekonomi Islam seperti misalnya dalam hal fiqih muamalah dan hakikat riba. Hasilnya adalah sebagian besar mahasiswa memang tidak mengetahui fiqih muamalah. Tampaknya fiqih muamalah masih merupakan istilah yang masih asing bagi sebagian besar mahasiswa. Istilah fiqh muamalah masih cukup asing bagi mahasiswa boleh jadi karena istilah itu bukan termasuk istilah yang “populer” dalam hal perekonomian saat ini. Istilah riba tampaknya masih lebih diketahui mahasiswa. Hampir semua responden yaitu sekitar 93% mengetahui tentang riba. Mereka mengetahui bahwa riba itu adalah bunga dan haram hukumnya. Walaupun bisa dikatakan masih cukup awam tentang ekonomi Islam ternyata mereka masih mengetahui salah satu istilah penting dalam ekonomi Islam. Ini disebabkan karena istilah riba menjadi pembeda antara ekonomi Islam dengan konvensional. Istilah riba telah banyak disebarluaskan oleh bank-bank syariah melalui iklan maupun brosur.
Berkembangnya ekonomi berbasis syariah yang ditandai dengan perkembangan pesat bank-bank syariah tampaknya menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa untuk mempelajari ekonomi Islam. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa sebanyak 73,4% responden tertarik untuk belajar ekonomi Islam. Beragam alasan yang mendasari mereka tertarik untuk mempelajari ekonomi Islam. Kebanyakan alasan mereka adalah karena alasan agama dan untuk menambah wawasan dan pengetahuan baru.
Keingintahuan akan ekonomi Islam merupakan efek dari pesatnya perkembangan bank syariah. Sejak tahun 2000 banyak bank syariah bermunculan di Indonesia. Tren ini membuat bank syariah lama kelamaan makin dikenal publik. Hampir semua responden yaitu sekitar 95% telah mengetahui adanya bank syariah. Hal ini menunjukkan bahwa bank syariah sudah dikenal luas di kalangan mahasiswa. Kebanyakan dari mereka mengetahui tentang bank syariah melalui iklan di televisi tapi tidak sedikit pula yang mengetahui dari internet, koran, brosur, dll. Sehingga saat ini sudah banyak tersedia informasi mengenai bank syariah.
Akan tetapi informasi yang mereka terima tidaklah lengkap. Kebanyakan mereka hanya mengetahui sekilas tentang bank syariah. Boleh jadi mereka hanya mengetahui melalui iklan yang hanya menyajikan informasi sekilas tentang produk bank syariah. Sehingga dapat dimaklumi apabila hanya 27% responden yang tahu tentang produk-produk bank syariah. Sedangkan sisanya tidak begitu tahu dan bahkan ada yang tidak tahu sama sekali. Selain karena terbatasnya informasi mengenai produk-produk bank syariah. Istilah produk bank dalam bahasa arab boleh jadi menjadi faktor yang menyulitkan masyarakat untuk mengetahuinya. Pengetahuan tentang produk bank syariah ternyata masih terbatas pada kalangan tertentu dan belum tersebarkan secara merata.
Hal paling mencolok antara bank konvensional dan syariah adalah sistem bunga dan bagi hasil. Sejumlah responden (78,72%) sepakat bunga dan bagi hasil adalah berbeda. Jika bunga menetapkan interest rate di awal dengan fixed maka bagi hasil akan tergantung dari hasil laba pengoperasian bank. Hal itu dinilai oleh mayoritas responden sebagai bentuk paling menguntungkan antar pihak nasabah-bank-debitor dibandingkan dengan sistem bunga( 64,52%). Hanya sebanyak 13,98% yang menyatakan bahwa tingkat keuntungan bunga = bagi hasil.
Adapun untuk mengetahui isu miring yang pernah berkembang mengenai eksklusivisme bank syariah yang hanya diperuntukkan untuk kaum muslim saja hampir seluruh responden menolak dan tidak setuju (92,86%). Bank syariah terlepas dari asal muasalnya dari ajaran agama Islam diperuntukkan untuk seluruh umat manusia demi kemaslahatan bersama, tidak pandang dari agama, ras, asal muasal tertentu. Bank syariah sekedar menawarkan sistem yang berbeda dengan bank konvensional karena dinilai tidak mampu menjalankan prinsip-prinsip syariah yaitu satu diantaranya adalah keadilan.
Setelah kami menilai mengenai pemahaman responden terhadap bank syariah selanjutnya kami menanyakan tentang tingkat keinginan responden untuk menabung di bank syariah. Dan hasilnya dari 6 skala tingkat ketertarikan untuk menabung di bank syariah yang diukur dari tingkat terendah yaitu 1 sampai tingkat tertinggi yaitu 6. Tingkat tertinggi dari penilaian skala adalah 3-4 dan kami merepresentasikannya sebagai tingkat kebimbangan. Hal tersebut kami rasa beralasan karena responden kebanyakan belum mengerti betul karakteristik dan produk perbankan syariah sehingga kadar preferensi dan kepercayaan mereka belum begitu kuat. Walaupun begitu kecenderungan pilihan ada di skala 4 yaitu 26,88% sedangkan pada skala 3: 21,51%. Jika tingkat ke 4 dijadikan dasar sebagai tingkat ketertarikan yang kuat maka sebanyak 51,6% responden tertarik untuk menabung di bank syariah. Dengan hasil ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa sebenarnya tertarik untuk menabung di bank syariah.
Meskipun banyak responden yang tertarik untuk menabung di bank syariah tetapi ternyata kebanyakan dari mereka belum memiliki rekening di sana. Sebanyak 72,6% responden masih belum memiliki rekening di bank syariah. Dan hanya sebanyak 16,67% yang sudah memiliki rekening di bank syariah. Sedangkan sebanyak 10,42% responden berencana untuk memulai membuka rekening baru. Walaupun sebagian besar dari mereka tertarik untuk menabung di bank syariah tetapi kebanyakan masih belum berencana membuka rekening di bank syariah. Ada beberapa alasan yang menyebabkan mahasiswa masih belum berencana membuka rekening di bank syariah. Sebagian besar dari mereka merasa malas dan merasa bahwa tidak praktis jika harus membuka rekening baru. Selain itu alasan lainnya adalah karena kesulitan akses menjangkau. Memang sampai saat ini bank syariah masih lebih sedikit jumlahnya dibanding bank konvensional. Sehingga tak mengherankan jika masyarakat kesulitan untuk menggunakan jasa bank syariah dan lebih memilih bank konvensional. Ada juga alasan lain yang meragukan praktek bank syariah apakah sudah sesuai dengan syariah Islam. Bank syariah boleh jadi memang masih belum sepenuhnya menerapkan sepenuhnya syariat Islam. Hal ini dikarenakan perbankan syariah di Indonesia masih dalam tahap pengembangan. Ditambah lagi pengetahuan perbankan syariah yang masih minim di masyarakat termasuk mahasiswa. Sehingga mereka masih belum tahu benar tentang produk serta kegiatan bank syariah. Jadi tidak mengherankan bila ada sebagian mahasiswa yang masih meragukan praktek bank syariah.
Dari penelitian yang telah kami lakukan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar mahasiswa UGM yang diwakili oleh 172 rsponden tertarik untuk membuka rekening di bank syariah. Akan tetapi sampai saat ini mereka masih belum juga memiliki rekening di bank syariah karena berbagai alasan. Salah satu alasan yang terbesar adalah ketidakpraktisan karena harus membuka rekening baru. Apalagi di UGM saat ini masih menggunakan jasa bank konvensional untuk kegiatan transaksi keuangan mahasiswa. Sehingga mahasiswa akan merasa kerepotan jika harus mengganti rekening mereka ke bank syariah.
Dengan minat mahasiswa yang besar untuk membuka rekening di bank syariah. Tidak ada salahnya jika rektorat memfasilitasi mahasiswa untuk membuka rekening di bank syariah.

Ebook: Makna Kebangkrutan Amerika

Kapitalisme telah kehilangan moral untuk menyatakan dirinya sebagai ideologi yang benar dan mampu mengangkat kesejahteraan manusia. Sebab ditinjau dari aspek manapun Kapitalisme merupakan ideologi yang bangkrut. Baik dilihat dari sisi asas sekularisme yang menenggelamkan fitrah manusia untuk beragama dan beribadah dengan benar kepada Allah SWT, maupun dari aspek kekinian.
Dalam aspek kekinian, negara Kapitalis terbesar di dunia sedang menghadapi gejolak kebangkrutan. Kebangkrutan yang berawal dari begitu besar krisis keuangan yang bersumber dan ditularkan dari sistem ekonomi Amerika. Apa makna di balik kebangkrutan tersebut? Simak ulasannya dalam eBook ini: Makna Kebangkrutan Amerika.

Ekonomi Islam : Antara Kapitalisme dan Sosialisme

Oleh : Abdussalam*

LUCU rasanya, ketika saya mengikuti seminar-seminar ekonomi Islam, atau ketika berdiskusi dengan teman-teman, baik dalam sebuah forum di kampus atau yang hadir dalam seminar tersebut, banyak diantara mereka yang berpendapat, bahwa ekonomi Islam adalah anti-kapitalis. Mereka sangat keras menghujat praktik kapitalisme dewasa ini, dan mengangkat setinggi-tingginya ekonomi Islam. Entah pendapat mereka ini berangkat dari rasa semangat yang menggebu-gebu, ingin menerapkan sistem ekonomi Islam di Indonesia, atau justru berangkat dari ketidakpahaman, atau lebih tepatnya mungkin, ketidaktahuan tentang kandungan asasi dari kapitalisme itu sesungguhnya, dan  perkembangan perekonomian secara historis maupun nilai-nilai ekonomi Islam itu sendiri.

Esensi Kapitalisme
Kapitalisme, sesuai asal katanya kapital yang berarti modal, ialah sistem perekonomian yang menganggap modal sebagai penggerak perekonomian. Kapitalisme mengakui kekuasaan kaum pemodal (kapitalis) sebagai motor perekonomian yang menanamkan modalnya dengan mengambil resiko kerugian atas usahanya. Pasar yang dikehendaki sebagai alokator interaksi supply dan demand yang sempurna dan efisien adalah Mekanisme Pasar Bebas. Maksudnya, biarkan saja perekonomian berjalan dengan wajar tanpa campur tangan pemerintah, sebab nanti akan ada tangan-tangan tak terlihat (invisible hands) yang akan membawa perekonomian tersebut ke arah keseimbangan. Dengan kata lain, kapitalisme adalah sebuah system di mana negara memberikan kebebasan bagi warganya untuk mengelola semua sumber daya dan kekayaan yang dimilikinya, namun tetap tidak boleh terjadi praktik monopoli di pasar. Sebab, pandangan semua ekonom sadar, termasuk para pemikir kapitalis, bahwa monopoli adalah penyakit yang akan merusak dan menghancurkan sebuah sistem perekonomian. Maka tidak heran, ketika Adam Smith, pelopor sistem ini, menganjurkan peran negara seminimal mungkin dan mengusahakan seluas-luasnya kebebasan bagi para pelaku ekonomi yang mengandalkan self-interest-nya. Inilah konsep laissez faire-laissez passer ala kaum Fisiokrat yang berawal dari pendapat Francis Quesnay.
Adalah sebuah keniscayaan, seandainya fenomena ketimpangan pendapatan memang terjadi dalam sistem kapitalisme karena persaingan yang terjadi dalam masalah alokasi sumber daya. Kemiskinan sebagai konsekuensi dari ketimpangan pendapatan, merupakan gejala alamiah (sunnatullah) yang tidak hanya terjadi dalam sistem kapitalisme, tetapi lebih disebabkan rendahnya faktor produktivitas dan kemajuan masyarakat. Inilah yang dilawan oleh kapitalisme melalui konsep spesialisasi pekerjaan (division of labor).

Paham Sosialisme
Sosialisme muncul sebagai antitesis dari kapitalisme. Ia lahir didorong oleh fenomena kemelaratan kaum buruh dan petani yang terkena dampak revolusi Industri yang telah menyebar ke seantero Eropa. Sosialisme mengajak umat manusia untuk meninggalkan kepemilikan individu atas alat-alat produksi -yang mendukung sistem kapitalisme- dan menyarankan perlunya penguasaan komunitas (yang dilambangkan oleh negara) atas perekonomian, sehingga seluruh individu mempunyai tingkat kesejahteraan yang relatif sama, tanpa adanya ketimpangan distribusi pendapatan dan homo homini lupus. Intinya, sosialisme benar-benar berpondasikan nilai-nilai dan kesejahteraan sosial dalam menyusun perekonomian. Ciri utama sosialisme yaitu berada pada hilangnya kepemilikan individu atas alat-alat produksi dan sangat mengandalkan peran pemerintah sebagai pelaksana perekonomian dan meninggalkan pasar.

Posisi Ekonomi Islam
Jika kita cermati alur masing-masing pemikiran kapitalisme dan sosialisme di atas, ada banyak kesamaan dengan ekonomi Islam. Mekanisme pasar bebas yang dianjurkan dalam kapitalisme, ternyata jauh sebelumnya Rasulullah saw telah menyetujui market mechanism of price dan menganjurkan kepada ummatnya untuk memanfaatkan mekanisme pasar dalam penyelesaian masalah-masalah ekonomi dan menghindari tas’ir (penetapan harga oleh pemerintah) jika tidak diperlukan. Namun, bukan berarti penetapan harga selamanya dilarang, melainkan dianjurkan untuk barang-barang publik (public goods) dan kondisi khusus lainnya seperti dijabarkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam bukunya, Ahkam al-Suuq (Adiwarman A Karim, 2003; Yusuf al-Qaradhawi, 2001; M. Umer Chapra, 2000)
Pertentangan utama kapitalisme dengan ekonomi Islam adalah terletak pada asas individu yang dianutnya. Di mana kapitalisme sangat menjunjung tinggi kebebasan berusaha dengan semangat kompetisi antar individu tanpa sama sekali mempermasalah-kan penumpukan harta kekayaan, pengembangannya secara riba dan akumulasi kapital, serta masalah pembelanjaannya yang menanggalkan nilai-nilai sosial. Asas yang lebih tepat disebut homo-homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Perhatian terhadap kepentingan orang lain hanya dilaksanakan dengan pertimbangan penambahan manfaat (marginal profit and utility) yang dapat dijelaskan dengan konsep pareto optimum improvement.
Begitu pula dengan konsep sosialisme yang mempunyai kesamaan paham, yaitu lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan sosial di atas kepentingan dan kesejahteraan individu. Hanya saja terdapat perbedaan yang mencolok, karena dalam mencapainya, sosialisme menyalahkan kelompok kaya (kapitalis) dan hendak berusaha memiskinkan kelompok kaya tersebut dengan merampas hak kepemilikan individu, terutama atas alat-alat produksi. Sedangkan Islam tidak pernah menganjurkan memusuhi kekayaan dan orang-orang kaya. Bahkan Islam sendiri menganjurkan agar setiap orang menjadi kaya sebagai bagian dari kebahagiaan yang harus dicapainya di dunia. Ekonomi Islam memilih jalan keadilan dalam mencapai kesejahteraan sosial. Bahwa kesejahteraan sosial yang tercapai haruslah dibangun di atas landasan keadilan.
Dus, Ekonomi Islam, sebagaimana Islam, memiliki sikap yang moderat (wasthiyyah). Ia tidak menzalimi kaum lemah sebagaimana terjadi pada masyarakat kapitalis, tetapi juga tidak menzalimi hak individu dan kelompok kaya sebagaimana ada pada sistem sosialisme-komunisme. Ekonomi Islam berada pada posisi tengah dan seimbang (equilibrium) antara modal dan usaha, produksi dan konsumsi, dan masalah pendapatan. Setidaknya ada empat hal yang menjadi ciri umum dari ekonomi Islam yang membedakannya dengan konsep perekonomian lainnya:
1.   Pelarangan riba (QS 2: 275-280)
2.   Implementasi ZISWAF (QS 9: 103)
3.   Produksi dan Konsumsi barang yang halal (QS 2: 168)
4.   Tidak boros dan bermewah-mewahan (QS 25: 67)
Keempat hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalisme maupun sosialisme. Di sisi lain, ekonomi Islam sudah menegaskan tujuannya dalam kerangka maqashid al-Syari’ah yang mencakup penjagaan atas agama, harta, keturunan, jiwa, dan akal. Kelima hal ini harus terjaga dalam kehidupan seseorang. Dan sebagai sistem ekonomi yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah, Ekonomi Islam juga merupakan bagian dari persoalan muamalah, oleh karena itu berlaku ketetapan bahwa segala aktivitas muamalah pada dasarnya boleh (mubah), kecuali ada syariah yang melarangnya. Berkebalikan dari masalah ibadah. Jadi, setiap pengembangan dalam ekonomi Islam dapat dilaksanakan dengan seluas-luasnya selama tidak melanggar syariah yang telah ditetapkan. [.]
*Penulis adalah alumnus STEI Tazkia Jurusan Ekonomi Islam

Pengaruh Guncangan Kebijakan Moneter terhadap Deposito Perbankan Syariah dalam Sistem Perbankan Ganda

Kajian Progres kali ini masih tentang pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor lain yaitu deposito perbankan syariah dalam sistem perbankan Indonesia yang masih menganut sistem ganda atau dual-banking system (sistem perbankan syariah dan konvensional ) yang dipresentasikan oleh Ade Muthi’ah, mahasiswi STEI TAZKIA semester 7.

Menurut studi literatur yang dilakukan oleh Ade Muthi’ah. Dengan bank sentral (BI) yang masih menganut sistem konvensional, maka masih sangat sulit untuk menerapkan 100% sistem perbankan syariah di negeri kita ini dan sistem keuangan Islam secara institusional berkembang lebih ke arah duplikasi konvensionalnya.

Ade juga mengemukakan bahwa pengaruh kebijakan moneter, dalam hal ini turun dan naiknya BI rate menurut penelitian terdahulu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap deposito perbankan syariah walaupun tidak secara langsung. Disebutkan bahwa ada beberapa indikator yang menjembatani antara perubahan suku bunga dan besar deposito syariah, seperti PDB dan inflasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan keadaan perekonomian yang masih menganut konvensional, maka penerapan sistem syariah di Indonesia masih dirasa mustahil untuk diwujudkan secara kaffah.

Hal ini menjadi suatu hal yang dilematis bagi bank-bank syariah yang ada, karena jika perbankan syariah menerapkan sistem syariahnya secara kaffah, maka persaingannya dengan perbankan konvensional akan menjadi tidak kompetitif, dikarenakan perbankan konvensional menawarkan suku bunga deposito yang lebih tinggi dan hal ini akan mengakibatkan perpindahan nasabah perbankan syariah ke perbankan konvensional. Kurangnya peminat perbankan syariah juga dikarenakan kesadaran masyarakat muslim yang belum sepenuhnya teredukasi dan termotivasi untuk berinvestasi di bank syariah Karena tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat kita masih membandingkan keuntungan dan kerugian dalam investasi mereka, dan mereka tentunya memilih di sektor yang lebih menguntungkan.

Kajian Intermedit kedua yang diadakan kepengurusan Progres 09-10 ini tetap dihadiri mahasiswa baik tingkat pertama maupun mahasiswa tingkat akhir. Kerja sama yang dilakukan Progres dengan T-Smart dalam mengadakan acara Seminar Ekonomi Islam ini memberi porsi lebih terhadap para mahasiswa yang datang dibanding kajian lainnya. Pada kajian kedua ini, para mahasiswa tingkat pertama pun mulai menunjukkan taji mereka dalam memberi pertanyaan. Dari motivasi yang diberikan oleh Bapak Yulizar Sanrego pada pertemuan kajian sebelumnya terbukti telah menstimulus mereka untuk lebih menggali rasa ingin tahu mereka. Tidak lupa juga, Bapak Sanrego pada kajian kedua ini juga memberi motivasi kembali pada para mahasiswa untuk lebih dalam memahami tentan ekonomi islam itu sendiri.

Oleh : Div Pers n Publikasi 09-10

The Best Economic System

Muttaqin.info – Mengapa sistem ekonomi Islam adalah yang terbaik? Alasan pertama adalah Sistem ekonomi Islam berdiri di atas fondasi yang kokoh, yakni akidah Islam. Akidah Islam adalah akidah yang 1) Memuaskan akal, 2) Menentramkan jiwa, 3) Sesuai fitrah manusia. Setiap yang berdiri di atas fondasi yang kokoh dan benar, maka sistem yang dipancarkan di atasnya adalah sistem yang benar dan mampu memecahkan problem kehidupan manusia.
Kelemahan mendasar dari Kapitalisme dan Komunisme karena sistem ekonomi ini merupakan ideologi yang tegak di atas akidah yang batil. Akidah yang secara akliyah bermasalah dan tentu saja tidak memuaskan akal. Akidah yang tidak menentramkan jiwa dan justru menimbulkan kegelisahan bagi manusia. Akidah yang bertentangan dengan fitrah manusia.
Komunisme misalnya, dengan diaklektika materialismenya sangat tidak memuaskan akal karena memandang segala sesuatu yang ada di dunia ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Tentu saja ini tidak masuk akal. Karena segala sesuatu yang ada di dunia pasti ada yang mencitakan.
Kapitalisme dengan akidah Sekularismenya meski mengakomodasi pemeluk agama untuk memeluk kepercayaannya, tetapi melarang pemeluk agama untuk mengaplikasikan ajaran dan aturan dalam kehidupan dan urusan hidup manusia. Ini menjadi masalah karena tidak semua agama hanya mengatur masalah ibadah ritual.
Islam merupakan agama yang juga mengatur hubungan antar manusia termasuk dalam urusan politik dan pemerintahan, ekonomi, pendidikan, hukum, budaya dan masyarakat. Karena itu, akidah Sekularisme bertentangan dengan fitrah manusia yakni fitrah menganggungkan sang Pencipta dan tidak memuaskan akal.
Faktor akidah yang tidak memuaskan akal, tidak menentramkan jiwa, dan tidak sesuai fitrah manusia inilah yang membuat sistem Kapitalisme dan Komunisme berdiri di atas fondasi yang rapuh. Akibatnya kedua ideologi ini tidak mampu memecahkan problem hidup manusia termasuk masalah ekonomi di dalamnya.
Alasan Kedua, output dari sistem Islam adalah individu-individu yang bertaqwa karena manusia yang hidup di dalam sistem Islam dibina dan diatur dengan syariah Islam. Syariah Islam merupakan implimentasi dari tujuan akidah Islam yakni menjadikan tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah dan menggapai redo Allah. Frame ini, menuntun manusia untuk menjadikan segala aktivitasnya termasuk dalam masalah harta/kekayaan dan transaksi ekonomi sebagai ibadah.
Ini berbeda dengan sistem Kapitalisme  yang membimbing manusia untuk menjadikan tujuan hidup hanya sebagai cara untuk mencapai kepuasan materi. Akibatnya yang terjadi adalah manusia menjadi tamak, saling mengeksploitasi. Yang berlaku pun dalam seperti hukum rimba, siapa yang kuat merekalah yang menang.
Alasan ketiga adalah sistem ekonomi Islam mencegah negara lepas tanggungjawabnya dari rakyat. Dalam Islam fungsi negara adalah mengatur dan melayani urusan rakyat dengan menerapkan syariah Islam. Negara laksana perisai di mana rakyat berlindung di belakangnya.
Ini berbeda dengan Kapitalisme yang berdiri di atas prinsip ekonomi “kebebasan kepemilikan”. Kebebasan ini mendorong negara melakukan liberalisasi dengan cara melepaskan tanggung jawab terhadap rakyatnya dan menyerahkannya pada investor dalam mekanisme pasar. Tidak aneh negara yang menerapkan ekonomi Kapitalis seperti Indonesia setapak demi setapak mulai meninggalkan rakyat. Akibatnya tentu saja kesengsaraan bagi rakyat.
Alasan keempat adalah sistem ekonomi Islam mampu menyelamatkan dan mensejahterakan dunia. Ada empat faktor penyebabnya, yakni sistem ekonomi Islam 1) menerapkan mata uang emas dan perak, 2) memajukan sektor riil yang tidak eksploitatif, 3) menciptakan perdagangan internasional yang adil, dan ke 4) mengemban misi kemanusian.
Krisis global sekarang bersumber dari diterapkannya sistem ekonomi Kapitalis yang ribawi. Akibatnya perekonomian dunia didominasi oleh sektor non riil yakni sektor finansial. Dominasi ini menyedot sumber daya sektor riil ke sektor finansial. Perekonomian juga berada dalam ketidakpastian dan menyebabkan ketimpangan yang semakin tinggi.
Sistem ekonomi Islam menghapus sistem ribawi dan menggantinya dengan sistem moneter dengan mata uang yang berbasis emas dan perak. Selain riil dan tidak ada dikotomi antara sektor riil dan moneter, sistem mata uang ini menjamin kepastian nilai tukar dan keadilan dalam transaksi internasional dan domestik.
Sistem ekonomi Islam juga mencegah ketimpangan dengan pembentukan struktur ekonomi yang adil. Islam mengatur kepemilikan menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Kepemilikan individu diakui karena itu adalah bagian dari fitrah manusia dalam mempertahankan hidup. Namun Islam mengatur individu agar tidak manzalimi manusia lainnya dengan adanya aturan tentang kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Tidak dapat disangkal, sumber daya ekonomi, bidang-bidang transaksi ekonomi, sebagian besar masuk dalam wilayah kepemilikan umum. Dengan aturan ini, dalam Islam tidak ada individu/swasta yang menguasai aset vital dan menjadi hajat hidup orang banyak. Sebaliknya sistem ekonomi Kapitalis memberikan kesempatan luas kepada individu untuk menguasainya.
Dengan pola ini, maka terbentuk struktur ekonomi yang adil dan kekayaan dapat didistribusikan dengan baik sehingga setiap warga negara lebih terjamin pemenuhan kebutuhan pokoknya.
Ekonomi memang harus ada hanya di wilayah sektori riil, tetapi lebih dari itu tidak boleh eksploitatif yang menyebabkan ketimpangan. Tidak boleh juga menyebabkan kerusakan masyarakat dan kezaliman karena itu sektor riil harus berbasiskan pada kegiatan ekonomi yang dihalalkan syariah.
Sistem ekonomi Islam juga memajukan perdagangan internasional yang adil. Perdagangan internasional tidak dilakukan atas dasar untuk mendominasi dan imperialisme seperti sekarang. Tetapi saling menguntungkan. Hanya saja perdagangan yang dapat diterapkan hanya pada negara-negara yang terikat perjanjian damai dengan negara Islam. Tentu saja tidak mungkin berdagang dengan negara lain yang sedang terlibat perang atau dengan negara yang sesunguhnya memusuhi dan berupaya mencengkramkan penjajahannya seperti hubungan parasit Amerika Serikat terhadap Indonesia.
Dalam sistem ekonomi Islam, perdagangan internasional dilakukan secara bebas tanpa cukai kecuali pada produk yang diharamkan syariah. Cukai hanya diterapkan jika negara lain menerapkan cukai atas komoditi yang diekspor oleh warga negara Islam.
Sistem ekonomi Islam juga menjunjung martabat manusia karena itu Islam menganggap ilegal aktivitas ekonomi yang eksploitatif apalagi terhadap suatu komunitas/bangsa. Pertama sistem ekonomi Islam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara dan mendorong mereka untuk hidup di atas standar sesuai adar kemampuannya.
Kedua hubungan ekonomi internasional merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik luar negeri negara Islam, yakni dakwah dan jihad. Islam menyerukan dakwah ke seluruh penjuru dunia dan menjadikan jihad sebagai penjaga terhadap dakwah itu sendiri. Karena itu dalam konteks ekonomi pun Islam hadir untuk menyelamatkan umat manusia dari kesengsaraan di dunia. Islam juga mengajak umat manusia agar beriman kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi.
Itulah sistem ekonomi Islam, sistem ekonomi terbaik (the Best Economic System). Hanya saja saat ini tidak ada satu negeri Islam pun yang menerapkan sistem ekonomi Islam. Dunia berada dalam dominasi dan cengkraman penjajahan Kapitalisme global. Apa penyebabnya?
Untuk mewujudkan diterapkannya sistem ekonomi Islam yang dibutuhkan adalah kehadiran sistem politik Islam yakni Khilafah Islamiyah. Tanpa sistem politik dan pemerintahan ini mustahil syariah Islam dapat diterapkan. Mustahil pula sistem ekonomi Islam hadir ke tengah-tengah umat manusia. Sehingga  gerak untuk membangun sistem ekonomi Islam harus disertai dan berada dalam kerangka politik Islam. Artinya pada diri umat harus dibangun kesadaran politik, yakni kesadaran hidup umat, hidup kita harus diatur menurut aturan syariah yang membutuhkan sistem Khilafah untuk menerapkannya.  [source: www.muttaqin.info]

PLN Terjerambat dalam Jebakan Hutang

PLN merupakan badan usaha milik negara yang sejatinya didirikan untuk memberikan pelayanan listrik kepada seluruh warga negara. Karena itu pula, sudah seharusnya sumber daya yang diperlukan PLN untuk memberikan pelayanan tersebut harus disediakan dan diupayakan oleh negara. Termasuk dalam hal ini sumber pendanaan.
Namun, arus globalisasi dan neolibisasi yang dijalankan pemerintah khususnya sejak era reformasi telah membuat PLN kehilangan sumber-sumber pendanaan yang selama ini dibackup oleh negara. PLN kini harus mencari sendiri pembiayaan untuk pemeliharaan dan investasi pengembangan kelistrikan di Indonesia.
Konsekwensinya tentu saja PLN dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat lebih bersifat komersiil, di samping kekuatan PLN sendiri saat ini sudah dipecah-pecah dalam kerangka privatisasi.
Salah satu dampak terbesar dari “berlepas tangannya” pemerintah adalah PLN melakukan pembiayaan melalui hutang.
Seperti diberitakan Kompas hari ini (5/8/2009), PLN baru saja menerbitkan obligasi internasional senilai U$ 750 juta atau setara Rp 7,5 trilyun. Obligasi bertenor 10 tahun tersebut di pasar modal mengalami kelebihan permintaan sebanyak 11 kali lipat, yakni sebesar U$ 8,6 milyar. Obligasi PLN diminta 310 pembeli dari Asia, Amerika Serikat, dan Eropa.
Menyambut besarnya minat atas obligasi PLN, wakil direktur PLN Rudianto (4/8/2009) menyatakan optimis akan penerbitan kembali obligasi. Hal ini sangat memprihatinkan. Sebab, tidak sedikit beban bunga yang harus dibayar PLN mengingat imbal hasil yang dijanjikan mencapai 8,125 persen.
Kondisi beban keuangan PLN sendiri dari segi jumlah hutang tidak sedikit. Menurut laporan Kompas (5/8/2009), beban hutang yang ditanggung PLN hingga akhir tahun 2008 mencapai Rp 35 trilyun dalam mata uang dollar AS dan Rp 23 trilyun dalam Yen. Ditambah dengan hutang baru PLN senilai U$ 750 juta plus bunganya dan rencana penerbitan kembali obligasi, menjadikan BUMN ini terjerambat dalam lingkaran hutang.
PLN, sekarang dan ke depan akan selalu terlilit masalah hutang yang berdampak pada perubahan fungsi PLN itu sendiri. Para kreditor PLN sudah pasti menuntut PLN membayar hutang-hutangnya plus bunga tepat waktu sesuai jadwal. Kondisi ini menuntun PLN pada pelayanan yang bersifat komersial dengan mengutamakan pemasukan. Akibatnya, tarif listrik ke depan akan menjadi lebih mahal.
Masalah hutang PLN dan problem kelistrikan secara menyeluruh tidak dapat ditimpakan kepada BUMN ini. Sebab kondisi PLN sekarang erat kaitannya dengan grand design global yang dikawal IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan WTO. Lembaga-lembaga neoliberal ini selalu menyertakan syarat liberalisasi dan privatisasi sektor publik Indonesia agar pemerintah Indonesia mendapatkan pinjaman. Inilah penjajahan ekonomi terhadap negeri kita.
“Kata kunci” untuk melepaskan PLN dari jerat hutang dan mengembalikan fungsinya ada di tangan pemerintah. Pemerintah harus mengambilalih pemenuhan sumber daya yang dibutuhkan PLN. Memperkuat PLN dengan tidak memisahkan PLN dari sumber daya energi yang dimiliki Indonesia (migas, batubara, dll), produksi, dan distribusi listrik ke masyarakat.
Namun hal itu hanya akan tercapai jika negara kita mampu membebaskan diri dari cengkraman hutang dan pasar bebas dengan mengelola kekuatan dan potensi ekonomi berdasarkan syariah. (JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org)

Negeri Kaya Tambang Miskin Batubara

Oleh Hidayatullah Muttaqin
Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek sebagaimana dipetik Kompas (5/2/2010) menceritakan keluh kesahnya tentang ironi pemanfaatan sumber daya alam (SDA) propinsi tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat Badan Anggaran DPR (4/2/2010). Ia mencontohkan, bagaimana sebuah perusahaan tambang batubara di propinsi tersebut setiap tahunnya dapat menghasilkan batubara sebanyak 45 juta ton, tetapi pemasaran hasilnya hanya 5% untuk kebutuhan dalam negeri sedangkan 95% ditujukan untuk ekspor.
Selama ini, daerah-daerah penghasil batubara seperti Kalimanan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan justru mendapatkan pasokan batubara yang sangat minim. Propinsi Kalimantan Selatan misalnya hampir setiap hari mengalami pemadaman listrik. Padahal 25% cadangan batubara nasional ada di propinsi ini.
Eksploitasi batubara di Indonesia khususnya di Kalimatan Timur dan Kalimantan Selatan dilakukan secara “gila-gilaan”. Betapa tidak, kerakusan perusahaan tambang bahkan sampai memasuki kawasan Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto yang dikelola Universitas Mularwarman Samarinda untuk keperluan pendidikan dan penelitian. Hutan seluas 40 kali lapangan sepabola tersebut atau sekitar 20.271 hektar sedang dalam proses penghancuran. ”Kami tidak mampu menghentikan kerakusan ini. Kewenangan kami cuma memakai hutan ini untuk kepentingan pendidikan dan penelitian, tidak lain dari itu,” kata Direktur Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul) Chandradewana Boer.
Begitu pula Kalimantan Selatan, propinsi yang memiliki hamparan Pegunungan Meratus yang berisi batubara dengan jumlahnya tak terkira sedang “diperkosa” habis-habisan oleh perusahaan tambang batubara. Pegunungan Meratus yang luasnya mencapai 1,6 juta hektar mencakup sembilan dari 13 kabupaten/kota di propinsi ini, sedangkan hutan alam yang masih bertahan kurang dari 500.000 hektar. Dari sembilan kabupaten tersebut tujuh di antaranya sudah mengeluarkan ratusan izin pertambangan batubara dan bijih besi. Akibatnya daerah pegunungan Meratus pun mengalami kerusakan amat parah. Hutan menjadi gundul dengan danau-danau hitam ataupun kubangan-kubangan raksasa dengan diameter mencapai ratusan meter.
Negeri Kaya yang Membuang Sumber Energi
Berdasarkan data Coal Statistics, batubara merupakan primadona sumber energi dunia. Batubara menyediakan 26,5% sumber energi primer. Batubara juga menghidupkan 41,5% pembangkit listrik di seluruh dunia. Ini artinya keberadaan batubara sanga vital. Namun sangat disayangkan pemanfaatan batubara untuk kepentingan nasional dan lokal sangat dianaktirikan, sedangkan yang tersisa adalah kerusakan lingkungan dan bencana alam.
Estimasi 2008 World Coal Institute, Indonesia menempati posisi ke enam sebagai produsen batubara dunia dengan jumlah produksi mencapai 246 juta ton, peringkat pertama ditempati China dengan jumlah produksi 2.761 juta ton, disusul AS 1007 juta ton, dan India 490 juta ton, Australia 325 juta ton, Rusia 247 juta ton. Ekspotir batubara terbesar dunia ditempati Australia 252 juta ton, Indonesia peringkat kedua dengan jumlah ekspor 203 juta ton. Sedangkan China sebagai produsen batubara terbesar dunia, hanya menempati peringkat ke tujuh sebagai eksportir dengan jumlah 47 juta ton.
Data ini memiliki arti relevansi kuat terhadap kerusakan lingkungan, eksploitasi, dan minimnya pemanfaatan batubara untuk kepentingan rakyat Indonesia. Meskipun hasil batubara cukup besar setiap tahunnya namun lebih banyak ditujukan untuk pasar ekspor. Hal ini terlihat dari 246 juta ton produksi batubara, 82,52% disediakan untuk pasar ekspor sisanya baru digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Karena itu pasokan batubara untuk pembangkit listrik cukup minim. Perusahaan tambang hanya melihat di mana harga batubara yang paling menarik di situlah mereka akan memasarkan batubaranya.
Berbeda dengan Indonesia, China sebagai produsen batubara terbesar dunia yang jumlah produksinya lebih dari 11 kali produksi batubara Indonesia mengalokasikan 98,3%  batubaranya untuk kepentingan dalam negeri dan hanya 1,7% yang diekspor.
Dari perbandingan pola pemanfaatan batubara tersebut, terdapat kesenjangan yang cukup jauh antara Indonesia dengan China. Hasilnya, perekonomian China jauh melejit meninggalkan Indonesia. Bahkan dalam konteks ACFTA (perdagangan bebas ASEAN dengan China) yang dimulai awal tahun ini, China menjadi ancaman berat bagi perekonomian Indonesia di tengah masalah kelistrikan yang masih membelilit negeri kita. Sementara setiap tahunnya Indonesia terus “membuang” salah satu sumber energinya ini ke luar negeri.
Akar Masalah

Inilah masalah utama negara kita yang tidak memiliki “visi” bagaimana memanfaatkan sumber daya alam batubara untuk kepentingan rakyat. Negara justru menjadi alat Kapitalisme untuk menghisap dan mengeksploitasi kekayaan nasional tersebut.
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 merupakan salah satu contoh negara telah menjadi alat hisap Kapitalisme. Dalam PP ini, negara memberikan kesempatan luas kepada perusahaan-perusahaan tambang untuk melakukan kegiatan tambang di kawasan hutan lindung. Akibatnya perusahaan tambang batubara memiliki kesempatan luas dan legal untuk melakukan kegiatan pertambangan walaupun di kawasan hutan lindung. Dan faktanya kawasan hutan lindung di Indonesia khususnya daratan Kalimantan menyimpan kekayaan barang tambang yang sangat melimpah.
Selain problem pemerintahan yang tidak memiliki visi untuk rakyat (laisses faire-pro Kapitalis), negara kita juga melakukan kesalahan fatal dengan menjadikan sumber daya alam yang melimpah dan strategis sebagai kepemilikan yang dapat dikuasai oleh swasta dan asing. Akibatnya apakah eksploitasi batubara untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor, hasilnya tidak jatuh ke tangan rakyat tetapi jatuh ke tangan swasta dan asing.
Visi Syariah
Dari perspektif Syariah, tambang batubara dalam jumlah besar merupakan milik rakyat. Dalam hadist riwayat Abu Daud, disebutkan “Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api.” Yang dimaksud dengan api adalah sumber daya energi. Batubara termasuk sumber daya energi. Karena itu tambang batubara yang cukup besar sudah seharusnya menjadi milik bersama, yakni milik rakyat.
Larangan menguasai barang tambang yang melimpah bagi individu dipertegas oleh hadis Nabi SAW yang lain. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk dibolehkan mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.” Rasulullah saw kemudian menarik kembali tambang tersebut darinya. (HR. At-Tirmidzi).
Berdasarkan aturan Syariah tentang barang tambang tersebut, maka tambang batubara yang cukup besar (termasuk tambang minyak dan gas bumi, bijih besi, alumunium, nikel, uranium, dan lain-lainnya) merupakan milik bersama (milik umum) sehingga tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu (swasta) dan asing. Makna milik umum juga membatasi bahwa kepemilikannya tidak di tangan pemerintah/negara tetapi di tangan rakyat. Hanya saja, negara berkewajiban mengelolakan harta milik umum untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat sesuai Syariah Islam.
Dengan menyerahkan pemilikan atau penguasaan batubara ke tangan swasta dan asing yang dilakukan secara legal maupun ilegal, maka negara telah melakukan kemunkaran karena kebijakan tersebut bertentangan dengan hukum Allah. Hal ini diperparah dengan tidak adanya visi dan political will pemerintah untuk menjaga kemaslahatan rakyat termasuk di dalamnya kemandirian energi dan ekonomi. Padahal fungsi negara di dalam Islam adalah ri’ayah su’unil ummah (melayani rakyat) bukan melayani pasar (baca: investor) dan bukan juga melayani penguasa.
“Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Terbaliknya fungsi negara saat ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan sia-sianya kekayaan batubara bagi rakyat. Liberalisasi ekonomi dengan memindahkan penguasaan dan pemanfaatan tambang batubara ke tangan perusahaan tambang serta membatasi peran negara hanya sebagai alat untuk melegalisasi kerakusan demi kerakusan pemilik modal adalah sebab utama hilangnya fungsi negara.
Di sinilah pengelola negara telah melakukan kecurangan dan selalu menyulitkan kehidupan rakyatnya. Tidak sedikit izin pertambangan yang mereka berikan berujung pada perburuan rente atau untuk memperkaya diri sendiri.
“Seseorang yang memimpin kaum muslimin dan dia mati, sedangkan dia menipu mereka (umat) maka Allah akan mengharamkan ia masuk ke dalam surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kesimpulan
Melayangnya batubara Indonesia disebabkan oleh tidak adanya visi batubara untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan negara, serta kesalahan fatal tata kelola ekonomi yang menyerahkan kepemilikan dan penguasaan tambang kepada pemilik modal. Hal ini terjadi karena negara menjadi subordinasi pemilik modal dan tunduk pada kepentingan-kepentingan Kapitalisme global.
Karena itu Indonesia harus memiliki visi Syariah dan mengadopsi sistem kepemilikan umum sehingga kekayaan batubara nasional dapat digunakan untuk membangun kemandirian dan kesejahteraan rakyat secara adil. Untuk mencapai tujuan tersebut, transformasi sistem harus dilakukan dari Kapitalisme-Liberalisme menjadi Syariah di bawah sistem Khilafah.
REFERENSI:
Kompas (5 Februari 2010), Kenakan Pajak Tinggi.
Kompas (25 Januari 2010), Kami Tak Sanggup Menghentikan Kerakusan Ini…
Kompas (26 Januari 2010), Tetap Gelap di Lokasi Dekat Jantung Tambang.
World Coal Institute, Coal Statistics.
Share

Tulisan terkait lainnya ....

Mencoba Meramu APBN Syariah

Bagaimana wajah APBN Indonesia kalau dibuat dengan paradigma syariah?  Dari sisi penerimaan apakah pajak akan terus menjadi pilar APBN?  Lalu dari sisi pengeluaran apakah pembayaran pokok dan cicilan hutang masih akan mendominasi di samping pos subsidi?
Untuk dapat menjawab persoalan ini ada tiga pendekatan yang harus dilakukan:
Pertama, yang dihitung dahulu adalah pengeluaran berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan dari yang menurut syariah paling vital dan urgen ke yang hanya bersifat pelengkap. Untuk menghitung pos pengeluaran digunakan rasio-rasio ideal berdasarkan data wilayah dan kependudukan, proyeksi siklus jangka panjang dan menengah, serta harga pasar rata-rata saat ini.  Dalam kitab Nizhamul Iqtishady fil Islam dari Imam Taqiyyudin an-Nabhani, dinyatakan bahwa pengeluaran Kas Negara (Baitul Maal) ditetapkan berdasarkan enam kaidah:
(1)  Harta yang menjadi kas tersendiri Baitul Maal, yaitu harta zakat.  Harta ini hanya dibelanjakan ke delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi.  Bila di Baitul Maal harta zakat sudah habis, maka tidak ada seorangpun dari delapan ashnaf itu yang berhak mendapatkannya lagi, dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk itu.
(2)  Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi kekurangan (fakir miskin atau ibnu sabil) atau untuk melaksanakan jihad.  Ini bersifat pasti, bila tidak ada dan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan maka negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi dan bila perlu dapat menarik pajak.
(3)  Pembelanjaan yang sifatnya kompensasi yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan sebagainya.  Ini juga bersifat pasti.
(4)  Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal ada bencana alam atau serangan musuh.  Ini juga bersifat pasti.
(5)  Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti pembangunan infrastruktur.  Ini juga bersifat pasti.
(6)  Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan hanya saja bila tidak ada umat tidak sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.
Adapun data dasar wilayah dan kependudukan yang digunakan antara lain:
Jumlah penduduk 230,000,000
Luas wilayah darat (Km2) 1,900,000
Luas wilayah laut (Km2) 5,800,000
Panjang garis batas (Km) 15,000
Jumlah satuan administrasi level Kabupaten 33
Jumlah satuan administrasi level Kabupaten 480
Jumlah satuan administrasi level Kecamatan 6,000
Jumlah satuan administrasi level Desa/Kelurahan 70,000
Sedang untuk rasio-rasio kebutuhan digunakan asumsi-asumsi yang cukup ideal sebagai berikut:
Pos Santunan Fakir Miskin
asumsi prosentase penduduk miskin (fakir miskin) 50%
asumsi kebutuhan nutrisi per orang per hari (gram) 600
asumi harga pangan per-kg Rp 10,000
Pos Pendidikan
Jumlah siswa sekolah (usia 5-19 th) 60,000,000
rasio guru:siswa = 1: 20
rasio sekolah:siswa= 1: 300
asumsi rata-rata gaji guru per bulan Rp. 5,000,000
asumsi biaya operasional sekolah per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, dll) Rp 25,000,000
rasio lulusan SMA ke Pendidikan Tinggi = 1: 10
rasio dosen:mahasiswa = 1: 10
rasio perguruan tinggi : mahasiswa = 1: 1,000
asumsi biaya operasional perguruan tinggi per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, lab dll) Rp 250,000,000
Pos Kesehatan
Rasio dokter:penduduk = 1: 1,000
Rasio rumah sakit:penduduk = 1: 10,000
Rasio rumah sakit: desa = 1: 3.0
Asumsi gaji dokter per bulan Rp 7,500,000
Asumsi operasional tiap rumah sakit per bulan Rp 225,000,000
Pos Pertahanan & Keamanan
Rasio tentara dengan garis perbatasan 1 km = 25
Rasio polisi dengan jumlah penduduk = 1: 1,000
Rasio kapal penjaga perbatasan 1 kapal =  [km] 25
Rasio pesawat militer untuk menjaga area
1 pesawat = [km2]
40,000
Asumsi gaji tentara/polisi / bulan Rp 7,500,000
Asumsi operasional markas tentara / bulan
(hanya ada satu di tiap provinsi)
Rp 1,500,000,000
Asumsi operasional markas polisi / bulan
(ada di tiap kecamatan)
Rp 105,000,000
Pos Pemerintahan & Keadilan
Rasio aparat administrasi pemerintahan : penduduk yang dibutuhkan = 1: 1,000
Rasio aparat peradilan : penduduk = 1: 1,000
Asumsi rata-rata gaji aparat pemerintahan & peradilan Rp 7,500,000
Asumsi rata-rata operasional kantor pemerintahan & peradilan / bulan Rp 33,000,000
Pos Infrastruktur & Fasilitas Umum Vital
Siklus perbaikan menyeluruh transportasi setiap 10 tahun
Siklus perbaikan menyeluruh fasum lainnya 20 tahun
Infrastruktur data meliputi aktivitas riset, sensus, pemetaan, pembangunan jejaring ICT 20 tahun
Infrastruktur energi meliputi pembangunan instalasi migas, pipa, PLTGU, PLTN, dan jaringan listrik 20 tahun
Infrastuktur pangan meliputi pembangunan pabrik pupuk, irigasi, dan pengolahan pasca panen 20 tahun
Infrastruktur pertahanan meliputi kendaraan tempur angkatan darat, laut dan udara berikut alutsista 20 tahun
Pos Cadangan Bencana terhadap APBN                        5%
Pos Cadangan Maslahat non Vital                                 2%
Dari semua pos ini kemudian dihitung besaran-besaran makro dan menghasilkan angka dalam Tabel APBN.
Kedua, pos penerimaan disusun berdasarkan pos-pos yang ditetapkan syariah.  Dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:
(1)  Bagian Fai dan Kharaj.  Penerimaan ini meliputi:
  1. Ghanimah, mencakup anfal, fa’i dan khumus, yakni pampasan perang.
  2. Kharaj, yakni pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslimin dengan jihad.  Besaran kharaj ini ditetapkan khalifah berdasarkan potensi hasil bumi tersebut.
  3. Sewa tanah-tanah milik negara.
  4. Jizyah, yakni pajak dari warga non muslim yang dewasa dan berada, karena mereka tak terkena kewajiban zakat, jihad maupun pajak bila ada.
  5. Fai, yakni pemasukan dari barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan dsb.
  6. Pajak yang hanya ditarik insidental dari warga muslim yang berada.
Seperti dapat dilihat bahwa pos penerimaan pada bagian ini sifatnya tidak menentu, dan idealnya tidak perlu ada.  Bila dakwah dapat berhasil dengan damai, maka tidak perlu perang sehingga tak ada ghanimah, dan tujuan perang itu sendiri memang tidak untuk mendapatkan ghanimah. Kemudian karena Indonesia secara umum masuk Islam tanpa penaklukan, maka penerimaan negara dari kharaj ini di Indonesia juga kurang relevan.  Tanah milik negara bila perlu dapat dibagikan ke warga yang kekurangan, tanpa sewa.  Jizyah akan hilang ketika warga non muslim masuk Islam, dan itu tidak boleh dihalang-halangi.  Barang temuan atau waris justru harus dicarikan siapa yang berhak.  Dan pajak hanya ditarik insidental kalau kas baitul maal terancam kosong padahal ada kebutuhan yang bersifat pasti
(2)  Bagian Kepemilikan Umum yaitu pengelolaan sumber daya alam yang hakekatnya milik umum:
  1. Seksi minyak dan gas
  2. Seksi listrik
  3. Seksi pertambangan
  4. Seksi laut, sungai, perairan dan mata air
  5. Seksi hutan dan padang rumput
  6. Seksi asset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf.
Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya baik di dalam negeri maupun ekspor.
(3)  Bagian Shadaqah, yang terdiri dari shadaqah wajib yaitu:
  1. Zakat harta dan perdagangan yang berupa uang (atau emas/perak)
  2. Zakat pertanian dan buah-buahan
  3. Zakat ternak
Bagian Shadaqah adalah bagian yang unik.  pertama karena volumenya penerimaannya menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat, sehingga kalau ekonomi lesu maka shadaqah juga berkurang; dan kedua, pengeluarannya hanya ke delapan ashnaf.
Untuk Indonesia, dari ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah kepemilikan umum, sehingga pada pos inilah dilakukan beberapa perhitungan dengan sejumlah asumsi, yang antara lain tergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang dunia.
Data yang ada saat ini:
Produksi minyak di Indonesia adalah sekitar 950.000 barrel per hari (bpd).  Bila asumsi harga minyak adalah US$ 65/barrel dan nilai tukar rupiah Rp. 9000/US$ maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp. 202 Triliun.  Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10% dari nilai tersebut, maka nett profitnya masih di atas Rp 182 Triliun.  Namun keuntungan ini hanya tercapai bila seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasar (tanpa subsidi, yakni US$ 72/barrel) dan baru hasilnya yang dikembalikan ke umum melalui Baitul Maal.  Indonesia bahkan harus menjadi net-importer minyak, karena kebutuhan minyak per hari 1,2 juta barrel, akibat politik energi selama ini yang terlalu tertumpu pada minyak, termasuk lambatnya pembangunan jaringan kereta api berikut elektrifikasinya.
Produksi gas (LNG) adalah setara sekitar 5,6 juta barrel minyak per hari, namun harganya di pasar dunia hanya 25% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 297 Triliun atau nett profitnya sekitar Rp 268 Triliun.
Produksi batubara adalah setara 2 juta barrel minyak per hari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp. 212 Triliun, atau nett profitnya sekitar Rp 191 Triliun.
Produksi listrik tidak signifikan kecuali bila dilakukan pembangkitan listrik dari energi terbarukan (air, angin, dan geothermal) atau nuklir.  Energi listrik seperti ini biasanya impas dikonsumsi sendiri.  Di Indonesia, karena tidak ada integrasi antara Pertamina, PGN, PT Batubara BukitAsam dan PLN, maka PLN rugi puluhan Triliun.
Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont hanya dapat ditaksir dari setoran pajak yang jumlahnya memang aduhai.  Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 Triliun setahun, dan ini baru 20% dari nettprofit, itu artinya nettprofitnya adalah Rp. 30 Triliun per tahun.  Ini masuk akal karena dari sumber lain didapat informasi bahwa produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 Ton emas murni per hari. Secara kasar, bersama perusahan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp. 50 Triliun per tahun.
Dengan demikian dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp. 691 Triliun.  Pada saat ini, dengan pola konsesi dan transfer pricing (terutama untuk gas, batubara dan emas) maka penerimaan yang dilaporkan BUMN maupun swasta ke negara jauh lebih rendah dari ini.  Yang harus diingat adalah bahwa sektor pertambangan adalah tidak dapat diperbarui, meski teknologi dapat memperpanjang usianya, tapi suatu hari pasti akan habis juga.
Untuk produksi laut karena sifatnya terutama dilakukan secara bebas oleh nelayan swasta baik kecil maupun besar, tentu agak sulit untuk memasukkannya sebagai penerimaan negara.  Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Milyar atau Rp. 738 Triliun.  Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10%, maka ini sudah sekitar Rp. 73 Triliun.
Yang paling menarik adalah produksi hutan.  Luas hutan kita adalah 100 juta hektar, dan untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5% tanamannya yang diambil.  Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon per hektar yang ditebang.  Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp. 2 juta dan nett profitnya Rp. 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan kita adalah 100 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp 1 juta per pohon = Rp 2000 Triliun.  Fantastis.  Namun tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separo hutan kita yang telah rusak oleh illegal logging.  Harga kayu yang legalpun juga telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak.  Tapi Rp. 1000 Triliun juga masih sangat besar.  Dan kalau kita kelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.
Ketiga, standar dari Dinar – namun juga natura.
Pada saat simulasi perhitungan APBN ini, angka yang dipakai adalah Rupiah.  Ini sekedar untuk memudahkan mendapatkan gambaran berapa nilai tersebut, juga untuk membandingkan dengan APBN Republik Indonesia saat ini.  Namun ke depan, kita harus mulai menggunakan standar emas yaitu Dinar, karena dengan itu APBN ini akan tak lekang oleh zaman, sementara APBN dalam Rupiah akan senantiasa terkoreksi oleh inflasi.  Pada bulan April 2010, kurs Dinar yang merupakan emas 22 karat seberat 4.25 gram adalah sekitar Rp. 1.500.000 per Dinar.
Selain itu, sebenarnya di APBN Syariah ada pendapatan dan harta milik negara yang diakuntasikan dengan natura, karena memang tak semua penerimaan atau pengeluaran harus berupa uang.  Misalnya, zakat juga tidak harus berupa uang, tetapi dapat juga tanaman atau ternak.  Demikian juga jizyah, bahkan dapat pula dibayarkan dengan pakaian.  Oleh sebab itu, angka-angka yang digambarkan di sini hanya untuk standardisasi nilai saja, yang memang sangat tepat bila menggunakan Dinar.
APBN Syariah juga tidak harus selalu dihabiskan pada tahun anggaran berjalan.  Karena itu kolom penerimaan tidak harus balance dengan kolom pengeluaran.  Boleh saja di suatu masa surplus dan di mana yang lain minus karena ada bencana, paceklik atau perang, sehingga negara perlu menunda sebagian pengeluaran atau meminjam atau menarik pajak.
Yang jelas, dengan anggaran 666 juta Dinar atau sekitar Rp. 999 Triliun (pada pos pengeluaran) sebenarnya sudah dapat tercukupi dengan hasil hutan yang lestari itu saja.  Bagian-bagian seperti fai & kharaj (termasuk di dalamnya kemungkinan pajak), juga shadaqah (yang terkait zakat) bahkan belum perlu diperhitungkan.
Distribusi dalam pengeluaran juga cukup bagus.  Pos yang terbesar adalah sektor pendidikan, pengentasan kemiskinan dan infrastruktur.  Di dalam sektor infrastruktur ini sudah tertanam anggaran riset sains dan teknologi yang cukup besar yakni hampir 3.5% APBN.  Ini semua akan sangat cukup untuk menggerakkan ekonomi, sehingga bahkan setelah beberapa tahun, angka kemiskinan sudah sangat rendah sehingga pos pengentasan kemiskinan bisa tidak berarti.  Asumsi yang digunakan dengan angka ini adalah setiap orang miskin mendapat asupan 600 gram nutrisi perhari senilai Rp. 10.000.  Ini artinya setiap orang miskin mendapat Rp. 300.000,- perbulan!  Bandingkan dengan BLT selama ini yang hanya Rp. 100.000 per KK per bulan.
APBN
Pos Penerimaan (dalam juta Dinar)
Bagian Fai & Kharaj (tidak diperhitungkan) 0
Bagian Kepemilikan Umum
-       Minyak 121,5
-       Gas 178,9
-       Batubara 127,5
-       Emas & Mineral Logam lainnya 33,5
-       BUMN Kelautan 48,9
-       Hasil hutan 666,0
Bagian Shadaqah (tidak diperhitungkan) 0
JUMLAH PENERIMAAN 1176,3
Pos Pengeluaran (juta Dinar)
Pengentasan Kemiskinan 50% penduduk 167,9
Kompensasi
-       Layanan Hankam & Jihad 41,7
-       Layanan Pemerintahan dan Peradilan 30,8
-       Layanan Pendidikan 180,0
-       Layanan Kesehatan 55,8
Maslahat Vital (Infrastruktur & Fasum) 143,1
Cadangan Kebencanaan & Perang 33,3
Maslahat Lain-lain 13,2
JUMLAH PENGELUARAN 666
Analisis
Desain APBN ini memang sangat berbeda dengan APBN Indonesia saat ini.  APBN Indonesia saat ini memakai pendekatan sektoral dan institusional.  Dokumen rinci APBN hingga level satuan kerja adalah sebuah monster yang sangat tebal meliputi ratusan ribu halaman.  Walhasil, rasio-rasio anggaran terhadap target-target (output, outcome) pelayanan masyarakat kurang dapat diketahui dengan cepat, sementara peluang markup atau penganggaran ganda sangat besar.  Di sisi lain, prinsip Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan adalah, mereka yang tidak dapat menyerap anggarannya, akan dihukum dengan menurunkan anggaran tahun berikutnya.  Tidak dilakukan pembedaan antara yang anggarannya kurang terserap karena efisiensi, atau salah perencanaan, atau faktor external (gangguan alam, masalah sosial, kendala aturan yang belum dimodifikasi, dsb).
Pada hitungan APBN syariah ini, surplus di jumlah penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh hutang Indonesia secepatnya, untuk kemudian kita melesat menuju kesejahteraan dengan syariah.
Tentu saja, bila khilafah berdiri di negeri muslim yang berbeda kondisinya dengan Indonesia, maka APBN-nya bisa tampak sangat berbeda.  Kalau khilafah berdiri di Irak yang memiliki cadangan migas sangat besar dan merupakan tanah kharajiyah, maka bagian tersebut mesti diisi, sementara hasil hutan atau laut nyaris nol.  Sebaliknya bila khilafah berdiri di Bangladesh yang nyaris tidak punya sumberdaya alam baik migas ataupun hutan, maka bagian fai dan kharaj (terlebih pajak) dan bagian shadaqah mesti dielaborasi dengan intensif. Wallahu a’lam bis shawab. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org]
Dr. Fahmi Amhar adalah anggota Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia
Share

Tulisan terkait lainnya ....