Powered By Blogger

Rabu, 03 November 2010

Kepemlikan & Sebab - sebab Kepemilikan

     Dalam islam kepemilikan adalah kepemilikan harta yang didasarkan pada agama,dimana kepemilikan ini tidak memberikan hak mutlak pada pemiliknya untuk menggunakan semaunya sendiri melainkan sesuai dengan beberapa aturan.Karna pada dasarnya kepemilikan manusia terhadap harta hanya sementara artinya hanya pinjaman terbatas dari Allah.
     Sebab-sebab kepemilkan adalah sebab-sebab seseorang menjadi memiliki harta asalnya dan telah dibatasi oleh batasan-batasan yang dijelaskan oleh syariah,artinya dalam keadaan tertentu,jumlah tertentu dan tidak dilepaskan begitu saja.
Sebab kepemilikan harta yaitu sebagai berikut:
1. Bekerja
    Menurut hukum-hukum syariah ada beberapa bentuk kerja yang bisa dijadikan sebagai sebab kepemilikan harta adalah sebagai berikut:
a) Menghidupkan Tanah Mati
Tanah mati yaitu tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh siapapun.Sedangkan menghidupkan tanah mati(ihya'al mawat) adalah mengolah,menanami atau mendirikan bangunan diatas tanah tersebut,artinya memanfaatkan tanah tersebut dengan cara apapun hingga menjadikan tanah tersebut hidup.Hal itu menyebabkan seseorang menjadi memiliki tanah tersebut .
b.) Menggali Kandungan Bumi
Rikaz artinya menggali apapun yang terdapat dalam perut bumi,bukan merupakan harta yang diperlukan oleh sebuah komunitas masyarakat atau bukan merupakan harta milik umum seluruh kaum muslim seyogyanya yang dinyatakan dalam ketetapan fiqih.Ada juga jenis harta yang bisa disamakan statusnya dengan jenis harta yang digali dari perut bumi yaitu harta yang diserap dari udara misalnya oksigen,dan semua ciptaan Allah yang diperbolehkan syariah dan dibiarkan untuk digunakan.
c.) Berburu
Harta yang didapat dari hasil buruan darat dan buruan laut dan lain-lain adalah menjadi milik orang yang memburunya sebagai mana halnya yang berlaku dalam perburuan hewan-hewan lainnya.
d.) Makelar (Samsarah) dan Pemandu ( Dalalah)
Makelar (Samsarah) adalah panggilan bagi orang yang bekerja untuk orang lain guna mendapatkan upah baik untuk keperluan menjual maupun membelikan. Begitu juga panggilan untuk seorang pemandu. 
e.) Mudharabah
Mudharabah adalah kerjasama antara dua orang dalam suatu perniagaan atau perdagangan dengan kata lain mudharabah yaitu meleburnya tenaga disatu pihak dengan harta dari pihak lain, artinya satu pihak bekerja dan yang lain menyerahkan harta selanjutnya kedua belah pihak menyepakati mengenai prosentase tertentu dari profit yang didapatkan. Mudharabah mengharuskan adanya modal yang diterima oleh mudharib dengan ketentuan pengelola boleh mengajukan persyaratan sehingga harta tersebut bisa menjadi miliknya.
f.) Musaqat
Musaqat adalah seseorang menyerahkan kebunnya kepada orang lain agar ada yang mengurus dan merawatnya dengan harapan mendapat imbalan berupa bagian dari hasil panen kebun tersebut karena kebun tersebut memerlukan banyak penyiraman biasanya menggunakan air dari sumur bor. Kecuali untuk kebun kurma, pohon dan kebun anggur karena hukumnya mubah. Musaqat hanya berlaku untuk pohon yang berbuah dan bermanfaat.
g.) Ijarah (Kontrak Kerja)
Ijarah adalah usaha seorang majikan memperoleh manfaat dari seorang pekerja atau pembantu dan usaha pekerja atau pembantu guna mendapat upah dari majikan. Artinya ijarah adalah transaksi jasa dengan adanya suatu kompensasi atau imbalan yang bertumpu pada manfaat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja atau pembantu.
2. Waris
    Dalil yang ditetapkan berdasar pada Nash Al Qur'an yang tegas, waris memiliki hukum tertentu yang bersifat tawfiqi (harus diterima apa adanya) dan tidak memiliki sebab persyariatan hukum. Tapi tetap bersifat partikular yang berupa garis-garis besar. Waris adalah salah satu sarana untuk membagi kekayaan bagi waris tersebut dimana hanya menjelaskan tentang fakta waris, sesuai dengan syariah sehingga harta tersebut menjadi milik ahli waris tersebut. Ada 3 kondisi seseorang bisa membagikan kekayaan dalam masalah waris:
a.) Harta waris bisa dibagikan apabila ahli waris yang ada mampu menghabiskan semua harta waris yang ditinggal mayit sesuai dengan hukum waris.
b.) Jika tidak ada ahli waris yang bisa menghabiskan semua harta waris sesuai hukum syariah maka sebagiannya harus diserahkan kepada baitul mal.
c.) Jika tidak ada ahli waris sama sekali maka semua harta pusaka yang ada diserahkan kepada baitul mal.
3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
     Hidup adalah hak setiap orang dan seseorang itu harus mendapatkan kehidupan sebagai haknya sehingga adanya kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup merupakan sebab-sebab kepemilikan.
4. Pemberian harta negara kepada rakyat
     Pemberian harta negara kepada rakyat diambil dari harta baitul mal, baik untuk memenuhi hajat hidup atau untuk memanfaatkan kepemilikan.
5. Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta atau tenaga
a.) Hubungan antar individu satu sama lain baik hubungan ketika masih hidup, misal hibah dan hadiah dan juga wasiat.
b) Menerima harta sebagai ganti rugi dari musibah yang menimpa seseorang atas orang yang terbunuh dan luka.
c) Memperoleh mahar juga harta yang didapat melalui akad nikah sesuai hukum-hukum pernikahan.
d) Barang temuan (luqathah). Jika menemukan barang maka harus diteliti dulu, apakah barang tersebut mungkin untuk disimpan dan diumumkan seperti perhiasan dan pakaian, dan bukan punya orang yang sedang berhaji maka boleh dimiliki.
e) Santunan untuk khalifah dan orang-orang yang sama-sama melaksanakan tugas pemerintahan.




Sabtu, 30 Oktober 2010

Riset Bank Shariah 2008

Krisis ekonomi Indonesia 1998 seakan menjadi momentum berkembangnya bank syariah. Di saat bank-bank lainnya banyak yang mengalami krisis dan tumbang karena krisis likuiditas, bank syariah masih tetap bertahan. Diawali dengan munculnya bank syariah pertama di Indonesia, Muamalat tahun 1992, banyak bank-bank konvensional di kemudian hari membuka unit syariahnya seperti Bank Syariah Mandiri, BPD Syariah, BNI Syariah dan lain sebagainya.
Berawal dari sana, kami dari Departemen Riset SEF UGM melakukan survey mengenai sejauh mana pengetahuan ekonomi islam di kalangan mahasiswa serta preferensi mereka terhadap bank syariah di Indonesia. Survey dilakukan dengan mengambil 172 responden acak dengan cakupan tujuh fakultas yang terpilih, yaitu Ekonomika dan Bisnis, Teknik, Fisipol, Filsafat, Hukum, Psikologi, dan Sastra.
Dari kuisoner yang kami ajukan, kami menanyakan tentan pemahaman dasar ekonomi Islam seperti misalnya dalam hal fiqih muamalah dan hakikat riba. Hasilnya adalah sebagian besar mahasiswa memang tidak mengetahui fiqih muamalah. Tampaknya fiqih muamalah masih merupakan istilah yang masih asing bagi sebagian besar mahasiswa. Istilah fiqh muamalah masih cukup asing bagi mahasiswa boleh jadi karena istilah itu bukan termasuk istilah yang “populer” dalam hal perekonomian saat ini. Istilah riba tampaknya masih lebih diketahui mahasiswa. Hampir semua responden yaitu sekitar 93% mengetahui tentang riba. Mereka mengetahui bahwa riba itu adalah bunga dan haram hukumnya. Walaupun bisa dikatakan masih cukup awam tentang ekonomi Islam ternyata mereka masih mengetahui salah satu istilah penting dalam ekonomi Islam. Ini disebabkan karena istilah riba menjadi pembeda antara ekonomi Islam dengan konvensional. Istilah riba telah banyak disebarluaskan oleh bank-bank syariah melalui iklan maupun brosur.
Berkembangnya ekonomi berbasis syariah yang ditandai dengan perkembangan pesat bank-bank syariah tampaknya menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa untuk mempelajari ekonomi Islam. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa sebanyak 73,4% responden tertarik untuk belajar ekonomi Islam. Beragam alasan yang mendasari mereka tertarik untuk mempelajari ekonomi Islam. Kebanyakan alasan mereka adalah karena alasan agama dan untuk menambah wawasan dan pengetahuan baru.
Keingintahuan akan ekonomi Islam merupakan efek dari pesatnya perkembangan bank syariah. Sejak tahun 2000 banyak bank syariah bermunculan di Indonesia. Tren ini membuat bank syariah lama kelamaan makin dikenal publik. Hampir semua responden yaitu sekitar 95% telah mengetahui adanya bank syariah. Hal ini menunjukkan bahwa bank syariah sudah dikenal luas di kalangan mahasiswa. Kebanyakan dari mereka mengetahui tentang bank syariah melalui iklan di televisi tapi tidak sedikit pula yang mengetahui dari internet, koran, brosur, dll. Sehingga saat ini sudah banyak tersedia informasi mengenai bank syariah.
Akan tetapi informasi yang mereka terima tidaklah lengkap. Kebanyakan mereka hanya mengetahui sekilas tentang bank syariah. Boleh jadi mereka hanya mengetahui melalui iklan yang hanya menyajikan informasi sekilas tentang produk bank syariah. Sehingga dapat dimaklumi apabila hanya 27% responden yang tahu tentang produk-produk bank syariah. Sedangkan sisanya tidak begitu tahu dan bahkan ada yang tidak tahu sama sekali. Selain karena terbatasnya informasi mengenai produk-produk bank syariah. Istilah produk bank dalam bahasa arab boleh jadi menjadi faktor yang menyulitkan masyarakat untuk mengetahuinya. Pengetahuan tentang produk bank syariah ternyata masih terbatas pada kalangan tertentu dan belum tersebarkan secara merata.
Hal paling mencolok antara bank konvensional dan syariah adalah sistem bunga dan bagi hasil. Sejumlah responden (78,72%) sepakat bunga dan bagi hasil adalah berbeda. Jika bunga menetapkan interest rate di awal dengan fixed maka bagi hasil akan tergantung dari hasil laba pengoperasian bank. Hal itu dinilai oleh mayoritas responden sebagai bentuk paling menguntungkan antar pihak nasabah-bank-debitor dibandingkan dengan sistem bunga( 64,52%). Hanya sebanyak 13,98% yang menyatakan bahwa tingkat keuntungan bunga = bagi hasil.
Adapun untuk mengetahui isu miring yang pernah berkembang mengenai eksklusivisme bank syariah yang hanya diperuntukkan untuk kaum muslim saja hampir seluruh responden menolak dan tidak setuju (92,86%). Bank syariah terlepas dari asal muasalnya dari ajaran agama Islam diperuntukkan untuk seluruh umat manusia demi kemaslahatan bersama, tidak pandang dari agama, ras, asal muasal tertentu. Bank syariah sekedar menawarkan sistem yang berbeda dengan bank konvensional karena dinilai tidak mampu menjalankan prinsip-prinsip syariah yaitu satu diantaranya adalah keadilan.
Setelah kami menilai mengenai pemahaman responden terhadap bank syariah selanjutnya kami menanyakan tentang tingkat keinginan responden untuk menabung di bank syariah. Dan hasilnya dari 6 skala tingkat ketertarikan untuk menabung di bank syariah yang diukur dari tingkat terendah yaitu 1 sampai tingkat tertinggi yaitu 6. Tingkat tertinggi dari penilaian skala adalah 3-4 dan kami merepresentasikannya sebagai tingkat kebimbangan. Hal tersebut kami rasa beralasan karena responden kebanyakan belum mengerti betul karakteristik dan produk perbankan syariah sehingga kadar preferensi dan kepercayaan mereka belum begitu kuat. Walaupun begitu kecenderungan pilihan ada di skala 4 yaitu 26,88% sedangkan pada skala 3: 21,51%. Jika tingkat ke 4 dijadikan dasar sebagai tingkat ketertarikan yang kuat maka sebanyak 51,6% responden tertarik untuk menabung di bank syariah. Dengan hasil ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa sebenarnya tertarik untuk menabung di bank syariah.
Meskipun banyak responden yang tertarik untuk menabung di bank syariah tetapi ternyata kebanyakan dari mereka belum memiliki rekening di sana. Sebanyak 72,6% responden masih belum memiliki rekening di bank syariah. Dan hanya sebanyak 16,67% yang sudah memiliki rekening di bank syariah. Sedangkan sebanyak 10,42% responden berencana untuk memulai membuka rekening baru. Walaupun sebagian besar dari mereka tertarik untuk menabung di bank syariah tetapi kebanyakan masih belum berencana membuka rekening di bank syariah. Ada beberapa alasan yang menyebabkan mahasiswa masih belum berencana membuka rekening di bank syariah. Sebagian besar dari mereka merasa malas dan merasa bahwa tidak praktis jika harus membuka rekening baru. Selain itu alasan lainnya adalah karena kesulitan akses menjangkau. Memang sampai saat ini bank syariah masih lebih sedikit jumlahnya dibanding bank konvensional. Sehingga tak mengherankan jika masyarakat kesulitan untuk menggunakan jasa bank syariah dan lebih memilih bank konvensional. Ada juga alasan lain yang meragukan praktek bank syariah apakah sudah sesuai dengan syariah Islam. Bank syariah boleh jadi memang masih belum sepenuhnya menerapkan sepenuhnya syariat Islam. Hal ini dikarenakan perbankan syariah di Indonesia masih dalam tahap pengembangan. Ditambah lagi pengetahuan perbankan syariah yang masih minim di masyarakat termasuk mahasiswa. Sehingga mereka masih belum tahu benar tentang produk serta kegiatan bank syariah. Jadi tidak mengherankan bila ada sebagian mahasiswa yang masih meragukan praktek bank syariah.
Dari penelitian yang telah kami lakukan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar mahasiswa UGM yang diwakili oleh 172 rsponden tertarik untuk membuka rekening di bank syariah. Akan tetapi sampai saat ini mereka masih belum juga memiliki rekening di bank syariah karena berbagai alasan. Salah satu alasan yang terbesar adalah ketidakpraktisan karena harus membuka rekening baru. Apalagi di UGM saat ini masih menggunakan jasa bank konvensional untuk kegiatan transaksi keuangan mahasiswa. Sehingga mahasiswa akan merasa kerepotan jika harus mengganti rekening mereka ke bank syariah.
Dengan minat mahasiswa yang besar untuk membuka rekening di bank syariah. Tidak ada salahnya jika rektorat memfasilitasi mahasiswa untuk membuka rekening di bank syariah.

Ebook: Makna Kebangkrutan Amerika

Kapitalisme telah kehilangan moral untuk menyatakan dirinya sebagai ideologi yang benar dan mampu mengangkat kesejahteraan manusia. Sebab ditinjau dari aspek manapun Kapitalisme merupakan ideologi yang bangkrut. Baik dilihat dari sisi asas sekularisme yang menenggelamkan fitrah manusia untuk beragama dan beribadah dengan benar kepada Allah SWT, maupun dari aspek kekinian.
Dalam aspek kekinian, negara Kapitalis terbesar di dunia sedang menghadapi gejolak kebangkrutan. Kebangkrutan yang berawal dari begitu besar krisis keuangan yang bersumber dan ditularkan dari sistem ekonomi Amerika. Apa makna di balik kebangkrutan tersebut? Simak ulasannya dalam eBook ini: Makna Kebangkrutan Amerika.

Ekonomi Islam : Antara Kapitalisme dan Sosialisme

Oleh : Abdussalam*

LUCU rasanya, ketika saya mengikuti seminar-seminar ekonomi Islam, atau ketika berdiskusi dengan teman-teman, baik dalam sebuah forum di kampus atau yang hadir dalam seminar tersebut, banyak diantara mereka yang berpendapat, bahwa ekonomi Islam adalah anti-kapitalis. Mereka sangat keras menghujat praktik kapitalisme dewasa ini, dan mengangkat setinggi-tingginya ekonomi Islam. Entah pendapat mereka ini berangkat dari rasa semangat yang menggebu-gebu, ingin menerapkan sistem ekonomi Islam di Indonesia, atau justru berangkat dari ketidakpahaman, atau lebih tepatnya mungkin, ketidaktahuan tentang kandungan asasi dari kapitalisme itu sesungguhnya, dan  perkembangan perekonomian secara historis maupun nilai-nilai ekonomi Islam itu sendiri.

Esensi Kapitalisme
Kapitalisme, sesuai asal katanya kapital yang berarti modal, ialah sistem perekonomian yang menganggap modal sebagai penggerak perekonomian. Kapitalisme mengakui kekuasaan kaum pemodal (kapitalis) sebagai motor perekonomian yang menanamkan modalnya dengan mengambil resiko kerugian atas usahanya. Pasar yang dikehendaki sebagai alokator interaksi supply dan demand yang sempurna dan efisien adalah Mekanisme Pasar Bebas. Maksudnya, biarkan saja perekonomian berjalan dengan wajar tanpa campur tangan pemerintah, sebab nanti akan ada tangan-tangan tak terlihat (invisible hands) yang akan membawa perekonomian tersebut ke arah keseimbangan. Dengan kata lain, kapitalisme adalah sebuah system di mana negara memberikan kebebasan bagi warganya untuk mengelola semua sumber daya dan kekayaan yang dimilikinya, namun tetap tidak boleh terjadi praktik monopoli di pasar. Sebab, pandangan semua ekonom sadar, termasuk para pemikir kapitalis, bahwa monopoli adalah penyakit yang akan merusak dan menghancurkan sebuah sistem perekonomian. Maka tidak heran, ketika Adam Smith, pelopor sistem ini, menganjurkan peran negara seminimal mungkin dan mengusahakan seluas-luasnya kebebasan bagi para pelaku ekonomi yang mengandalkan self-interest-nya. Inilah konsep laissez faire-laissez passer ala kaum Fisiokrat yang berawal dari pendapat Francis Quesnay.
Adalah sebuah keniscayaan, seandainya fenomena ketimpangan pendapatan memang terjadi dalam sistem kapitalisme karena persaingan yang terjadi dalam masalah alokasi sumber daya. Kemiskinan sebagai konsekuensi dari ketimpangan pendapatan, merupakan gejala alamiah (sunnatullah) yang tidak hanya terjadi dalam sistem kapitalisme, tetapi lebih disebabkan rendahnya faktor produktivitas dan kemajuan masyarakat. Inilah yang dilawan oleh kapitalisme melalui konsep spesialisasi pekerjaan (division of labor).

Paham Sosialisme
Sosialisme muncul sebagai antitesis dari kapitalisme. Ia lahir didorong oleh fenomena kemelaratan kaum buruh dan petani yang terkena dampak revolusi Industri yang telah menyebar ke seantero Eropa. Sosialisme mengajak umat manusia untuk meninggalkan kepemilikan individu atas alat-alat produksi -yang mendukung sistem kapitalisme- dan menyarankan perlunya penguasaan komunitas (yang dilambangkan oleh negara) atas perekonomian, sehingga seluruh individu mempunyai tingkat kesejahteraan yang relatif sama, tanpa adanya ketimpangan distribusi pendapatan dan homo homini lupus. Intinya, sosialisme benar-benar berpondasikan nilai-nilai dan kesejahteraan sosial dalam menyusun perekonomian. Ciri utama sosialisme yaitu berada pada hilangnya kepemilikan individu atas alat-alat produksi dan sangat mengandalkan peran pemerintah sebagai pelaksana perekonomian dan meninggalkan pasar.

Posisi Ekonomi Islam
Jika kita cermati alur masing-masing pemikiran kapitalisme dan sosialisme di atas, ada banyak kesamaan dengan ekonomi Islam. Mekanisme pasar bebas yang dianjurkan dalam kapitalisme, ternyata jauh sebelumnya Rasulullah saw telah menyetujui market mechanism of price dan menganjurkan kepada ummatnya untuk memanfaatkan mekanisme pasar dalam penyelesaian masalah-masalah ekonomi dan menghindari tas’ir (penetapan harga oleh pemerintah) jika tidak diperlukan. Namun, bukan berarti penetapan harga selamanya dilarang, melainkan dianjurkan untuk barang-barang publik (public goods) dan kondisi khusus lainnya seperti dijabarkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam bukunya, Ahkam al-Suuq (Adiwarman A Karim, 2003; Yusuf al-Qaradhawi, 2001; M. Umer Chapra, 2000)
Pertentangan utama kapitalisme dengan ekonomi Islam adalah terletak pada asas individu yang dianutnya. Di mana kapitalisme sangat menjunjung tinggi kebebasan berusaha dengan semangat kompetisi antar individu tanpa sama sekali mempermasalah-kan penumpukan harta kekayaan, pengembangannya secara riba dan akumulasi kapital, serta masalah pembelanjaannya yang menanggalkan nilai-nilai sosial. Asas yang lebih tepat disebut homo-homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Perhatian terhadap kepentingan orang lain hanya dilaksanakan dengan pertimbangan penambahan manfaat (marginal profit and utility) yang dapat dijelaskan dengan konsep pareto optimum improvement.
Begitu pula dengan konsep sosialisme yang mempunyai kesamaan paham, yaitu lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan sosial di atas kepentingan dan kesejahteraan individu. Hanya saja terdapat perbedaan yang mencolok, karena dalam mencapainya, sosialisme menyalahkan kelompok kaya (kapitalis) dan hendak berusaha memiskinkan kelompok kaya tersebut dengan merampas hak kepemilikan individu, terutama atas alat-alat produksi. Sedangkan Islam tidak pernah menganjurkan memusuhi kekayaan dan orang-orang kaya. Bahkan Islam sendiri menganjurkan agar setiap orang menjadi kaya sebagai bagian dari kebahagiaan yang harus dicapainya di dunia. Ekonomi Islam memilih jalan keadilan dalam mencapai kesejahteraan sosial. Bahwa kesejahteraan sosial yang tercapai haruslah dibangun di atas landasan keadilan.
Dus, Ekonomi Islam, sebagaimana Islam, memiliki sikap yang moderat (wasthiyyah). Ia tidak menzalimi kaum lemah sebagaimana terjadi pada masyarakat kapitalis, tetapi juga tidak menzalimi hak individu dan kelompok kaya sebagaimana ada pada sistem sosialisme-komunisme. Ekonomi Islam berada pada posisi tengah dan seimbang (equilibrium) antara modal dan usaha, produksi dan konsumsi, dan masalah pendapatan. Setidaknya ada empat hal yang menjadi ciri umum dari ekonomi Islam yang membedakannya dengan konsep perekonomian lainnya:
1.   Pelarangan riba (QS 2: 275-280)
2.   Implementasi ZISWAF (QS 9: 103)
3.   Produksi dan Konsumsi barang yang halal (QS 2: 168)
4.   Tidak boros dan bermewah-mewahan (QS 25: 67)
Keempat hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalisme maupun sosialisme. Di sisi lain, ekonomi Islam sudah menegaskan tujuannya dalam kerangka maqashid al-Syari’ah yang mencakup penjagaan atas agama, harta, keturunan, jiwa, dan akal. Kelima hal ini harus terjaga dalam kehidupan seseorang. Dan sebagai sistem ekonomi yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah, Ekonomi Islam juga merupakan bagian dari persoalan muamalah, oleh karena itu berlaku ketetapan bahwa segala aktivitas muamalah pada dasarnya boleh (mubah), kecuali ada syariah yang melarangnya. Berkebalikan dari masalah ibadah. Jadi, setiap pengembangan dalam ekonomi Islam dapat dilaksanakan dengan seluas-luasnya selama tidak melanggar syariah yang telah ditetapkan. [.]
*Penulis adalah alumnus STEI Tazkia Jurusan Ekonomi Islam

Pengaruh Guncangan Kebijakan Moneter terhadap Deposito Perbankan Syariah dalam Sistem Perbankan Ganda

Kajian Progres kali ini masih tentang pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor lain yaitu deposito perbankan syariah dalam sistem perbankan Indonesia yang masih menganut sistem ganda atau dual-banking system (sistem perbankan syariah dan konvensional ) yang dipresentasikan oleh Ade Muthi’ah, mahasiswi STEI TAZKIA semester 7.

Menurut studi literatur yang dilakukan oleh Ade Muthi’ah. Dengan bank sentral (BI) yang masih menganut sistem konvensional, maka masih sangat sulit untuk menerapkan 100% sistem perbankan syariah di negeri kita ini dan sistem keuangan Islam secara institusional berkembang lebih ke arah duplikasi konvensionalnya.

Ade juga mengemukakan bahwa pengaruh kebijakan moneter, dalam hal ini turun dan naiknya BI rate menurut penelitian terdahulu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap deposito perbankan syariah walaupun tidak secara langsung. Disebutkan bahwa ada beberapa indikator yang menjembatani antara perubahan suku bunga dan besar deposito syariah, seperti PDB dan inflasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan keadaan perekonomian yang masih menganut konvensional, maka penerapan sistem syariah di Indonesia masih dirasa mustahil untuk diwujudkan secara kaffah.

Hal ini menjadi suatu hal yang dilematis bagi bank-bank syariah yang ada, karena jika perbankan syariah menerapkan sistem syariahnya secara kaffah, maka persaingannya dengan perbankan konvensional akan menjadi tidak kompetitif, dikarenakan perbankan konvensional menawarkan suku bunga deposito yang lebih tinggi dan hal ini akan mengakibatkan perpindahan nasabah perbankan syariah ke perbankan konvensional. Kurangnya peminat perbankan syariah juga dikarenakan kesadaran masyarakat muslim yang belum sepenuhnya teredukasi dan termotivasi untuk berinvestasi di bank syariah Karena tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat kita masih membandingkan keuntungan dan kerugian dalam investasi mereka, dan mereka tentunya memilih di sektor yang lebih menguntungkan.

Kajian Intermedit kedua yang diadakan kepengurusan Progres 09-10 ini tetap dihadiri mahasiswa baik tingkat pertama maupun mahasiswa tingkat akhir. Kerja sama yang dilakukan Progres dengan T-Smart dalam mengadakan acara Seminar Ekonomi Islam ini memberi porsi lebih terhadap para mahasiswa yang datang dibanding kajian lainnya. Pada kajian kedua ini, para mahasiswa tingkat pertama pun mulai menunjukkan taji mereka dalam memberi pertanyaan. Dari motivasi yang diberikan oleh Bapak Yulizar Sanrego pada pertemuan kajian sebelumnya terbukti telah menstimulus mereka untuk lebih menggali rasa ingin tahu mereka. Tidak lupa juga, Bapak Sanrego pada kajian kedua ini juga memberi motivasi kembali pada para mahasiswa untuk lebih dalam memahami tentan ekonomi islam itu sendiri.

Oleh : Div Pers n Publikasi 09-10

The Best Economic System

Muttaqin.info – Mengapa sistem ekonomi Islam adalah yang terbaik? Alasan pertama adalah Sistem ekonomi Islam berdiri di atas fondasi yang kokoh, yakni akidah Islam. Akidah Islam adalah akidah yang 1) Memuaskan akal, 2) Menentramkan jiwa, 3) Sesuai fitrah manusia. Setiap yang berdiri di atas fondasi yang kokoh dan benar, maka sistem yang dipancarkan di atasnya adalah sistem yang benar dan mampu memecahkan problem kehidupan manusia.
Kelemahan mendasar dari Kapitalisme dan Komunisme karena sistem ekonomi ini merupakan ideologi yang tegak di atas akidah yang batil. Akidah yang secara akliyah bermasalah dan tentu saja tidak memuaskan akal. Akidah yang tidak menentramkan jiwa dan justru menimbulkan kegelisahan bagi manusia. Akidah yang bertentangan dengan fitrah manusia.
Komunisme misalnya, dengan diaklektika materialismenya sangat tidak memuaskan akal karena memandang segala sesuatu yang ada di dunia ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Tentu saja ini tidak masuk akal. Karena segala sesuatu yang ada di dunia pasti ada yang mencitakan.
Kapitalisme dengan akidah Sekularismenya meski mengakomodasi pemeluk agama untuk memeluk kepercayaannya, tetapi melarang pemeluk agama untuk mengaplikasikan ajaran dan aturan dalam kehidupan dan urusan hidup manusia. Ini menjadi masalah karena tidak semua agama hanya mengatur masalah ibadah ritual.
Islam merupakan agama yang juga mengatur hubungan antar manusia termasuk dalam urusan politik dan pemerintahan, ekonomi, pendidikan, hukum, budaya dan masyarakat. Karena itu, akidah Sekularisme bertentangan dengan fitrah manusia yakni fitrah menganggungkan sang Pencipta dan tidak memuaskan akal.
Faktor akidah yang tidak memuaskan akal, tidak menentramkan jiwa, dan tidak sesuai fitrah manusia inilah yang membuat sistem Kapitalisme dan Komunisme berdiri di atas fondasi yang rapuh. Akibatnya kedua ideologi ini tidak mampu memecahkan problem hidup manusia termasuk masalah ekonomi di dalamnya.
Alasan Kedua, output dari sistem Islam adalah individu-individu yang bertaqwa karena manusia yang hidup di dalam sistem Islam dibina dan diatur dengan syariah Islam. Syariah Islam merupakan implimentasi dari tujuan akidah Islam yakni menjadikan tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah dan menggapai redo Allah. Frame ini, menuntun manusia untuk menjadikan segala aktivitasnya termasuk dalam masalah harta/kekayaan dan transaksi ekonomi sebagai ibadah.
Ini berbeda dengan sistem Kapitalisme  yang membimbing manusia untuk menjadikan tujuan hidup hanya sebagai cara untuk mencapai kepuasan materi. Akibatnya yang terjadi adalah manusia menjadi tamak, saling mengeksploitasi. Yang berlaku pun dalam seperti hukum rimba, siapa yang kuat merekalah yang menang.
Alasan ketiga adalah sistem ekonomi Islam mencegah negara lepas tanggungjawabnya dari rakyat. Dalam Islam fungsi negara adalah mengatur dan melayani urusan rakyat dengan menerapkan syariah Islam. Negara laksana perisai di mana rakyat berlindung di belakangnya.
Ini berbeda dengan Kapitalisme yang berdiri di atas prinsip ekonomi “kebebasan kepemilikan”. Kebebasan ini mendorong negara melakukan liberalisasi dengan cara melepaskan tanggung jawab terhadap rakyatnya dan menyerahkannya pada investor dalam mekanisme pasar. Tidak aneh negara yang menerapkan ekonomi Kapitalis seperti Indonesia setapak demi setapak mulai meninggalkan rakyat. Akibatnya tentu saja kesengsaraan bagi rakyat.
Alasan keempat adalah sistem ekonomi Islam mampu menyelamatkan dan mensejahterakan dunia. Ada empat faktor penyebabnya, yakni sistem ekonomi Islam 1) menerapkan mata uang emas dan perak, 2) memajukan sektor riil yang tidak eksploitatif, 3) menciptakan perdagangan internasional yang adil, dan ke 4) mengemban misi kemanusian.
Krisis global sekarang bersumber dari diterapkannya sistem ekonomi Kapitalis yang ribawi. Akibatnya perekonomian dunia didominasi oleh sektor non riil yakni sektor finansial. Dominasi ini menyedot sumber daya sektor riil ke sektor finansial. Perekonomian juga berada dalam ketidakpastian dan menyebabkan ketimpangan yang semakin tinggi.
Sistem ekonomi Islam menghapus sistem ribawi dan menggantinya dengan sistem moneter dengan mata uang yang berbasis emas dan perak. Selain riil dan tidak ada dikotomi antara sektor riil dan moneter, sistem mata uang ini menjamin kepastian nilai tukar dan keadilan dalam transaksi internasional dan domestik.
Sistem ekonomi Islam juga mencegah ketimpangan dengan pembentukan struktur ekonomi yang adil. Islam mengatur kepemilikan menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Kepemilikan individu diakui karena itu adalah bagian dari fitrah manusia dalam mempertahankan hidup. Namun Islam mengatur individu agar tidak manzalimi manusia lainnya dengan adanya aturan tentang kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Tidak dapat disangkal, sumber daya ekonomi, bidang-bidang transaksi ekonomi, sebagian besar masuk dalam wilayah kepemilikan umum. Dengan aturan ini, dalam Islam tidak ada individu/swasta yang menguasai aset vital dan menjadi hajat hidup orang banyak. Sebaliknya sistem ekonomi Kapitalis memberikan kesempatan luas kepada individu untuk menguasainya.
Dengan pola ini, maka terbentuk struktur ekonomi yang adil dan kekayaan dapat didistribusikan dengan baik sehingga setiap warga negara lebih terjamin pemenuhan kebutuhan pokoknya.
Ekonomi memang harus ada hanya di wilayah sektori riil, tetapi lebih dari itu tidak boleh eksploitatif yang menyebabkan ketimpangan. Tidak boleh juga menyebabkan kerusakan masyarakat dan kezaliman karena itu sektor riil harus berbasiskan pada kegiatan ekonomi yang dihalalkan syariah.
Sistem ekonomi Islam juga memajukan perdagangan internasional yang adil. Perdagangan internasional tidak dilakukan atas dasar untuk mendominasi dan imperialisme seperti sekarang. Tetapi saling menguntungkan. Hanya saja perdagangan yang dapat diterapkan hanya pada negara-negara yang terikat perjanjian damai dengan negara Islam. Tentu saja tidak mungkin berdagang dengan negara lain yang sedang terlibat perang atau dengan negara yang sesunguhnya memusuhi dan berupaya mencengkramkan penjajahannya seperti hubungan parasit Amerika Serikat terhadap Indonesia.
Dalam sistem ekonomi Islam, perdagangan internasional dilakukan secara bebas tanpa cukai kecuali pada produk yang diharamkan syariah. Cukai hanya diterapkan jika negara lain menerapkan cukai atas komoditi yang diekspor oleh warga negara Islam.
Sistem ekonomi Islam juga menjunjung martabat manusia karena itu Islam menganggap ilegal aktivitas ekonomi yang eksploitatif apalagi terhadap suatu komunitas/bangsa. Pertama sistem ekonomi Islam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara dan mendorong mereka untuk hidup di atas standar sesuai adar kemampuannya.
Kedua hubungan ekonomi internasional merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik luar negeri negara Islam, yakni dakwah dan jihad. Islam menyerukan dakwah ke seluruh penjuru dunia dan menjadikan jihad sebagai penjaga terhadap dakwah itu sendiri. Karena itu dalam konteks ekonomi pun Islam hadir untuk menyelamatkan umat manusia dari kesengsaraan di dunia. Islam juga mengajak umat manusia agar beriman kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi.
Itulah sistem ekonomi Islam, sistem ekonomi terbaik (the Best Economic System). Hanya saja saat ini tidak ada satu negeri Islam pun yang menerapkan sistem ekonomi Islam. Dunia berada dalam dominasi dan cengkraman penjajahan Kapitalisme global. Apa penyebabnya?
Untuk mewujudkan diterapkannya sistem ekonomi Islam yang dibutuhkan adalah kehadiran sistem politik Islam yakni Khilafah Islamiyah. Tanpa sistem politik dan pemerintahan ini mustahil syariah Islam dapat diterapkan. Mustahil pula sistem ekonomi Islam hadir ke tengah-tengah umat manusia. Sehingga  gerak untuk membangun sistem ekonomi Islam harus disertai dan berada dalam kerangka politik Islam. Artinya pada diri umat harus dibangun kesadaran politik, yakni kesadaran hidup umat, hidup kita harus diatur menurut aturan syariah yang membutuhkan sistem Khilafah untuk menerapkannya.  [source: www.muttaqin.info]

PLN Terjerambat dalam Jebakan Hutang

PLN merupakan badan usaha milik negara yang sejatinya didirikan untuk memberikan pelayanan listrik kepada seluruh warga negara. Karena itu pula, sudah seharusnya sumber daya yang diperlukan PLN untuk memberikan pelayanan tersebut harus disediakan dan diupayakan oleh negara. Termasuk dalam hal ini sumber pendanaan.
Namun, arus globalisasi dan neolibisasi yang dijalankan pemerintah khususnya sejak era reformasi telah membuat PLN kehilangan sumber-sumber pendanaan yang selama ini dibackup oleh negara. PLN kini harus mencari sendiri pembiayaan untuk pemeliharaan dan investasi pengembangan kelistrikan di Indonesia.
Konsekwensinya tentu saja PLN dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat lebih bersifat komersiil, di samping kekuatan PLN sendiri saat ini sudah dipecah-pecah dalam kerangka privatisasi.
Salah satu dampak terbesar dari “berlepas tangannya” pemerintah adalah PLN melakukan pembiayaan melalui hutang.
Seperti diberitakan Kompas hari ini (5/8/2009), PLN baru saja menerbitkan obligasi internasional senilai U$ 750 juta atau setara Rp 7,5 trilyun. Obligasi bertenor 10 tahun tersebut di pasar modal mengalami kelebihan permintaan sebanyak 11 kali lipat, yakni sebesar U$ 8,6 milyar. Obligasi PLN diminta 310 pembeli dari Asia, Amerika Serikat, dan Eropa.
Menyambut besarnya minat atas obligasi PLN, wakil direktur PLN Rudianto (4/8/2009) menyatakan optimis akan penerbitan kembali obligasi. Hal ini sangat memprihatinkan. Sebab, tidak sedikit beban bunga yang harus dibayar PLN mengingat imbal hasil yang dijanjikan mencapai 8,125 persen.
Kondisi beban keuangan PLN sendiri dari segi jumlah hutang tidak sedikit. Menurut laporan Kompas (5/8/2009), beban hutang yang ditanggung PLN hingga akhir tahun 2008 mencapai Rp 35 trilyun dalam mata uang dollar AS dan Rp 23 trilyun dalam Yen. Ditambah dengan hutang baru PLN senilai U$ 750 juta plus bunganya dan rencana penerbitan kembali obligasi, menjadikan BUMN ini terjerambat dalam lingkaran hutang.
PLN, sekarang dan ke depan akan selalu terlilit masalah hutang yang berdampak pada perubahan fungsi PLN itu sendiri. Para kreditor PLN sudah pasti menuntut PLN membayar hutang-hutangnya plus bunga tepat waktu sesuai jadwal. Kondisi ini menuntun PLN pada pelayanan yang bersifat komersial dengan mengutamakan pemasukan. Akibatnya, tarif listrik ke depan akan menjadi lebih mahal.
Masalah hutang PLN dan problem kelistrikan secara menyeluruh tidak dapat ditimpakan kepada BUMN ini. Sebab kondisi PLN sekarang erat kaitannya dengan grand design global yang dikawal IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan WTO. Lembaga-lembaga neoliberal ini selalu menyertakan syarat liberalisasi dan privatisasi sektor publik Indonesia agar pemerintah Indonesia mendapatkan pinjaman. Inilah penjajahan ekonomi terhadap negeri kita.
“Kata kunci” untuk melepaskan PLN dari jerat hutang dan mengembalikan fungsinya ada di tangan pemerintah. Pemerintah harus mengambilalih pemenuhan sumber daya yang dibutuhkan PLN. Memperkuat PLN dengan tidak memisahkan PLN dari sumber daya energi yang dimiliki Indonesia (migas, batubara, dll), produksi, dan distribusi listrik ke masyarakat.
Namun hal itu hanya akan tercapai jika negara kita mampu membebaskan diri dari cengkraman hutang dan pasar bebas dengan mengelola kekuatan dan potensi ekonomi berdasarkan syariah. (JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org)